BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan yang
berupa mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang
terpisah dan berserakan. Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad
saw—yang antara satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi
beberapa waktu—tidaklah segera dikodifikasikan pada masa itu. Tetapi, atas
perintah Nabi, di samping menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya, ayat-ayat tersebut ditulis di atas
pelepah-pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53).
Proses
penghimpunan al-quran kerap disebut dengan istilah jam’u al-qur’an (pengumpulan
al-quran), namun ada juga ulama yang menggunakan istilah kitabat al-quran
(penulisan al-quran) dan tadwin al-quran (pembukuan al-quran). Tapi istilah
jam’u al-quran lebih sering digunakan. Dalam istilah ini terkandung dua maksud,
al-jam’u fi as-sudur, yaitu proses penghafalan al-qur’an, dan al-jam’u fi
as-sutur, yakni proses pencatatan dan penulisannya. Terma “penulisan”
(kitabah), “pengumpulan” (jam’) dan “penghafalan” (hifz) mengandung maksud dan
tujuan yang sama, yakni pemeliharaan kitab suci Al-qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PENULISAN PADA MASA NABI,
KHULAFA AR-RASYIDIN, DAN PENYEMPURNAAN AL-QUR’AN
1.
Pada
Masa Nabi
Kerinduan
Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan,
tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus
bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas bin Sa’id,
Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Proses penulisan Al-Quran pada masa Nabi sangat sederhana, mereka menggunakan
alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang,
dan batu.
Di
antara faktor
yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
1. Mem-back
up hafalan yang telah
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2. Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup
karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun
tulisan akan tetap tepelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran tidak ditulis
di tempat tertentu.
Nabi Muhammad memilih beberapa
sahabat yang memiliki kecakapan khusus dalam hal tulis menulis untuk mencatat
Al-Qur’an. Para juru tulis Al-Qur’an, diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk
menuliskan setiap wahyu yang diterimanya dan meletakkan urut-urutannya sesuai
petunjuk Nabi Muhammad berdasar atas petunjuk Allah melalui Jibril.
Beberapa faktor mengapa Al-Qur’an
belum dibukukan pada masa Nabi, yaitu:
1. Tidak
adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur hingga Nabi Muhamad wafat.
3. Selama
proses turunnya Al-Qur’an masih terdapat kemungkinan ayat-ayat yang mansukh (dibatalkan).
2.
Pada
Masa Khulafa ‘Al-Rasyidin
a)
Pada
Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa khalifah Abu Bakar,
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya huffazh yang
syahid pada Perang Yamamah, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan
dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an. Zaid bin Tsabit
diminta untuk menjalankan tugas ini.
Az-Zarqani mencatat, ciri-ciri
penulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar sebagai berikut:
1. Seluruh
ayat Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian
yang cermat dan saksama.
2. Tidak
termasuk di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mansukh atau di-Naskh bacaanya.
3. Seluruh
ayat Al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawwatirannya.[2]
b)
Pada
Masa ‘Utsman bin Affan
Perbedaan-perbedaan serius dalam
qiraat Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin Affan di berbagai wilayah
membuat Khalifah mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut.
Khalifah lalu bermusyawarah
dengan para sahabat Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit serta
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Al-Harits “mengumpulkan”
Al-Qur’an.
Keseluruhan Al-Qur’an direvisi
dengan cermat dan dibandingankan dengan suhuf
yang berada ditangan Hafshah. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (abash)
Al-Qur’an , yang sering juga disebut Mushaf ‘Utsmani.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman
pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
a. Tidak
menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali
telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca Nabi pada pemeriksan
Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
b. Untuk
menjamin ketujuh huruf turunnya
Al-Qur’an, tulisan mushaf bebas dari
titik dan syakal.
c. Lafazh
yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dalam bentuk unik,
sedangkan lafazh yang dibaca lebih dari satu qira’at ditulis dengan rasm
yang berbeda pada tiap-tiap mushaf.
d. Ditetapkan
bahasa Quraisy yang
digunakan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa tersebut.
Utsman
memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi
persyaratan berikut:
a. Harus
terbukti mutawwatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
b. Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali
dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c. Kronologi
surat dan ayat yang dikenal sekarang berbeda dengan mushaf Abu Bakar,
d. Sistem penulisan yang digunakan mushaf
mampu mencakupi qira’at yang berbeda
sesuai dengan lafrazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
e. Semua
yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.
Perbedaan
antara mushaf Utsmani dengan Abu Bakar adalah sebagai berikut:
Pada
Masa Abu Bakar
|
Pada
Masa Utsman bin Affan
|
Ø Motivasi
penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Quran dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Quran pada perang Yamamah.
Ø Abu
bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang
terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya.
|
Ø Motivasi
penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca
Al-Quran (Qira’at).
Ø Utsman
Melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh
huruf yang dengannya Al-Quran turun.
|
3.
Penyempurnaan
Penulisan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf
yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Tersebutlah dua
tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.). Upaya
penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika proses
penyempurnaan naskah Al-Quran (Mushaf Utsmani) selesai dilakukan, tercatat pula
tiga nama yang disebut-sebut
sebagai orang yang pertama kali meletakan tanda titik pada mushaf ‘Utsmani.
Ketiga orang itu adalah Abu Al-aswad Ad-Da’uli, Yahya bin Ya’mar (45-129
H) dan Nasr bin Ashim Al-Laits (w. 89
H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakan hamzah, tasyid,
Al-raum, dan al-isymam adalah Al-Khalli bin Ahmad Al-Frahidi Al-Azdi yang
diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H). Dan untuk pertama kalinya, Al-Quran
dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530.
Penerbit
Al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787, yang menerbitkannya
adalah maulaya ‘Utsman.
B.
PENGERTIAN
AYAT DAN SURAT SERTA CARA PENETAPANNYA
Dalam
leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti, yaitu:
bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan keutamaan (Louis
Ma’luf, tt: 362). Al-Zarkasyi menjelaskan pengertian surat dengan “sekelompok
ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t: I,
263).
Sementara
itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa kali merujuk pada
makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah:
tanda (QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248);
mukjizat (QS. al-Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan
al-Furqan: 37); sesuatu yang menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil
(QS. al-Rum: 20, 21, 23, dan 24). Akan
tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan sekelompok
kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam suatu surat al-Qur’an
(al-Zarqani, 1988: I, 350).
Surat-surat Al-Qur’an
tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Tetapi, nama-nama surat tersebut
tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut—meskipun
tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai tema—tetapi hanya dijadikan
sebagai alat metode identifikasi. Tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan
nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling
menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat
al-Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi/petunjuk Rasul).
Para
ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur’an.
1. Dikatakan bahwa tertib surat itu tauqifi
dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya
atas perintah Tuhan. Alasan yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu
Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat Al-mufashshal dalam satu
rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an.
2. Dikatakan bahwa tertib surat itu
berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam
mushaf mereka. Namun pendapat ini sangat lemah. Sebab sebelum adanya mushaf
usman, ada banyak mushaf yang susunan suratnya berbeda-beda. Seandainya tertib
itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya
masing-masing.
3. Dikatakan
bahwa sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan
ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib
sebagian surat pada masa Nabi.
Adapun
tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi—disepakati
urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun ayat nabi
selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada tempat tertentu
atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini.
Di
samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa
al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada bulan
Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw.
Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat Al-Qur’an
yang dikenal sekarang.
C.
RASM
AL-QUR’AN DAN RASM USTMANI
Rasm
Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adal;ah tata cara menuliskan
Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Para ulama
meringkas kaidah-kaidah menjadi enam istilah, yaitu:
1. Al-Hadzf
(membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
2. Al-Jiyadah
(penambahan)
3. Al-Hamzah,
salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah
berharakat sukun, di tulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya
4. Badal
(penggantian)
5. Washal
dan fashl (penyambungan dan pemisahan)
6. Kata
yang dapat dibaca dua bunyi
Pendapat para ulama sekitar Rasm
Al-Qur’an:
a. Sebagian
dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bersifat tauqifi.
b. Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui Utsman dan
diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis
Al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Artha Rivena
Anwar, M.Ag, DR. Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. :CV Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar