Kamis, 03 Mei 2012

Makalah Pengantar Study Al-Qur'an: Penulisan Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan yang berupa mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang terpisah dan berserakan. Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad saw—yang antara satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi beberapa waktu—tidaklah segera dikodifikasikan pada masa itu. Tetapi, atas perintah Nabi, di samping menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya, ayat-ayat tersebut ditulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53).
Proses penghimpunan al-quran kerap disebut dengan istilah jam’u al-qur’an (pengumpulan al-quran), namun ada juga ulama yang menggunakan istilah kitabat al-quran (penulisan al-quran) dan tadwin al-quran (pembukuan al-quran). Tapi istilah jam’u al-quran lebih sering digunakan. Dalam istilah ini terkandung dua maksud, al-jam’u fi as-sudur, yaitu proses penghafalan al-qur’an, dan al-jam’u fi as-sutur, yakni proses pencatatan dan penulisannya. Terma “penulisan” (kitabah), “pengumpulan” (jam’) dan “penghafalan” (hifz) mengandung maksud dan tujuan yang sama, yakni pemeliharaan kitab suci Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      SEJARAH PENULISAN PADA MASA NABI, KHULAFA AR-RASYIDIN, DAN PENYEMPURNAAN AL-QUR’AN
1.      Pada Masa Nabi
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abbas bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa Nabi sangat sederhana, mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
1.      Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2.   Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap tepelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran tidak ditulis di tempat tertentu.
Nabi Muhammad memilih beberapa sahabat yang memiliki kecakapan khusus dalam hal tulis menulis untuk mencatat Al-Qur’an. Para juru tulis Al-Qur’an, diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk menuliskan setiap wahyu yang diterimanya dan meletakkan urut-urutannya sesuai petunjuk Nabi Muhammad berdasar atas petunjuk Allah melalui Jibril.
Beberapa faktor mengapa Al-Qur’an belum dibukukan pada masa Nabi, yaitu:
1.      Tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Qur’an.
2.      Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur hingga Nabi Muhamad wafat.
3.  Selama proses turunnya Al-Qur’an masih terdapat kemungkinan ayat-ayat yang mansukh (dibatalkan).
 2.      Pada Masa Khulafa ‘Al-Rasyidin
a)      Pada Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya huffazh yang syahid pada Perang Yamamah, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an. Zaid bin Tsabit diminta untuk menjalankan tugas ini.
Az-Zarqani mencatat, ciri-ciri penulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar sebagai berikut:
1.  Seluruh ayat Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan saksama.
2.  Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mansukh atau di-Naskh bacaanya.
3.  Seluruh ayat Al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawwatirannya.[2]
b)      Pada Masa ‘Utsman bin Affan
Perbedaan-perbedaan serius dalam qiraat Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin Affan di berbagai wilayah membuat Khalifah mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu bermusyawarah dengan para sahabat Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit serta Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Al-Harits “mengumpulkan” Al-Qur’an.
Keseluruhan Al-Qur’an direvisi dengan cermat dan dibandingankan dengan suhuf yang berada ditangan Hafshah. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (abash) Al-Qur’an , yang sering juga disebut Mushaf ‘Utsmani.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
a.  Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca Nabi pada pemeriksan Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
b.    Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Qur’an, tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
c.  Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dalam bentuk unik, sedangkan lafazh yang dibaca lebih dari satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap  mushaf.
d.  Ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa tersebut.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a. Harus terbukti mutawwatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
b. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c.   Kronologi surat dan ayat yang dikenal sekarang berbeda dengan mushaf Abu Bakar,
d.  Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafrazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
e.   Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.
Perbedaan antara mushaf Utsmani dengan Abu Bakar adalah sebagai berikut:
Pada Masa Abu Bakar
Pada Masa Utsman bin Affan
Ø  Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Quran dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Quran pada perang Yamamah.
Ø  Abu bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya.
Ø  Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Quran (Qira’at).
Ø   Utsman Melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Quran turun.
 3.      Penyempurnaan Penulisan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H.)  dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.). Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika proses penyempurnaan naskah Al-Quran (Mushaf Utsmani) selesai dilakukan, tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakan tanda titik pada mushaf ‘Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-aswad Ad-Da’uli, Yahya bin Ya’mar (45-129 H)  dan Nasr bin Ashim Al-Laits (w. 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakan hamzah, tasyid, Al-raum, dan al-isymam adalah Al-Khalli bin Ahmad Al-Frahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H). Dan untuk pertama kalinya, Al-Quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530.
Penerbit Al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787, yang menerbitkannya adalah maulaya ‘Utsman.
 B.   PENGERTIAN AYAT DAN SURAT SERTA CARA PENETAPANNYA
Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti, yaitu: bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan keutamaan (Louis Ma’luf, tt: 362). Al-Zarkasyi menjelaskan pengertian surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t: I, 263).
Sementara itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa kali merujuk pada makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah: tanda (QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248); mukjizat (QS. al-Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan al-Furqan: 37); sesuatu yang menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. al-Rum: 20, 21, 23, dan 24). Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam suatu surat al-Qur’an (al-Zarqani, 1988: I, 350).
Surat-surat Al-Qur’an tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Tetapi, nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut—meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai tema—tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode identifikasi. Tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi/petunjuk Rasul).
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur’an.
1. Dikatakan bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Alasan yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat Al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an.
2.    Dikatakan bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf mereka. Namun pendapat ini sangat lemah. Sebab sebelum adanya mushaf usman, ada banyak mushaf yang susunan suratnya berbeda-beda. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
3.   Dikatakan bahwa sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi.
 Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi—disepakati urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat Al-Qur’an yang dikenal sekarang.
 C.   RASM AL-QUR’AN DAN RASM USTMANI
Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adal;ah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Para ulama meringkas kaidah-kaidah menjadi enam istilah, yaitu:
1.      Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
2.      Al-Jiyadah (penambahan)
3.  Al-Hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, di tulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya
4.     Badal (penggantian)
5.     Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan)
6.     Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Pendapat para ulama sekitar Rasm Al-Qur’an:
a.     Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bersifat tauqifi.
b. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Artha Rivena
Anwar, M.Ag, DR. Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. :CV Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar