Rabu, 09 Mei 2012

Makalah Pengantar Study Hadits: Hadits Maudhu'


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah
Makalah ini dibuat semata untuk membahas tentang hadits maudhu’. Hadits maudhu’ salah satu dari pembagian hadits. Semua hadits seperti hadits hasan, hadits dhoif, semuanya bersandarkan kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits dhoif yang semua isinya dari seorang pendusta dan mengatasnamakan Rasulullah SAW.
B.     Rumusan Masalah
Agar pembahasan tepat dan benar sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi masalah yaitu sebagai berikut. 
1.      Apakah pengertian hadits maudhu’? 
2.      Bagaimanakah awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya? 
3.      Apa kriteria kepalsuan dari hadits maudhu’?
4.      Seperti apakah pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’?
5.      Bagaimana upaya menanggulangi hadits maudhu’
C.    Tujuan
Dibuatnya makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu.
1.      Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu’.
2.      Untuk mengetahui awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya.
3.      Untuk mengetahui kriteria kepalsuan dari Hadits Maudhu’.
4.      Untuk mengetahui pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’.
5.      Untuk mengetahui upaya menanggulangi hadits maudhu’.

BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MAUDHU’
Hadits baru dibukukan dan ditulis pada masa Kekholifahan Umar ibn ‘Abd Al Aziz abad ke 2 H melalui perintahnya kepada Gubernur Abu Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dan bahkan kepada tabi’in wanita ‘Amrah binti ‘Abd Al Rahman. Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rasulullah SAW dengan waktu pembukukan hadits hampir 1 abad merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulluh SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah seperti inilah yang selanjutnya di kenal dengan hadis palsu atau hadits maudhu’.
A.    PENGERTIAN HADITS MAUDHU’
Pengertian hadits maudhu dibedakan menjadi dua, yaitu
1.      Pengertian secara etimologi
Secara etimologi (bahasa), kata al-maudlu asal kata dari  وضع – يضع – وضعا  memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi makna itu di antaranya sebagai berikut:
a.       bermakna al-hiththah, yang mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat,
b.      bermakna al-isqah, yang mempunyai konotasi arti menggugurkan,
c.       bermakna al-ikhtilaq, yang mempunyai arti membuat-buat, dan
d.      bermakna al-islaq, yang mempunyai arti meletakkan.
2.      Pengertian secara terminologi
Pengertian hadits maudhu secara terminologi (istilah) diberikan oleh para muhaddisin dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi pada intinya mempunyai kesamaan dalam prinsip makna yang mendasarkan beberapa rumusan pengertian hadits maudhu adalah sebagai berikut.
Menurut Muhammad As-Sakhsh, hadits maudhu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifa dusta terhadap Rasulullah SAW, dibuat secara sengaja atau tidak sengaja.
Sedangkan menurut Moh. Najib, hadits maudhu merupakan hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan tujuan untuk memperdayai.
Menurut Mahmud Abu Rayyah bahwa, hadits yang diciptakan dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, secara palsu dan dusta, baik secara sengaja atau pun tidak sengaja.
Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu di katakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”.
Beberapa unsur penting dalam definisi al-maudhu di atas, yaitu:
a.       unsur al-wadh’u (pembuatan atau dibuat-buat), artinya hadits yang disampaikan rawi adalah hadits “buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi Muhammad SAW,
b.      unsur al-kadzibu (dusta atau menipu), artinya apa yang disampaikan rawi sebagai hadits Nabi adalah “dusta” atau “tipuan” belaka yang berasal dari dirinya sendiri, bukan dari Nabi,
c.       unsur al-amdu (sengaja) dan al-khata’u (tidak sengaja), artinya pembuatan hadits dusta yang disebut berasal dari Nabi itu dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian hadits maudhu adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak sengaja.
B.     AWAL MUNCUL DAN FAKTOR yang MELATAR BELAKANGINYA
1.      AWAL MUNCUL HADITS MAUDHU’
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Di antara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:
a.      Menurut Ahmad Amin
Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan dengan sebuah hadits yang matannya
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار .
Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah SAW telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara historis, selain itu pemalsuan hadits di zaman Rasulullah SAW tidak tercantum di dalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Data juga menunjukan sepanjang masa Rasulullah SAW tidak pernah ada seorang sahabat pun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
b.      Menurut jumhur muhadditsin
Menurut jumhur muhadditsin bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.
2.      FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
Faktor-faktor yang melatarbelakangi pembuatan hadits maudhu’, yaitu.
1.      Polemik politik
Dari sebab pembunuhan Utsman radhiyallohu anhu kemudian fitnah Ali radhiyallohu anhu dan Mu’awiyah radhiyallohu anhu terpecahlah kaum muslimin menjadi tiga, kubu Ali radhiyallohu anhu, Kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu, dan yang keluar yang memberontak pada Ali radhiyallohu anhu.
Pada zaman mereka tidak terjadi pemalsuan hadits, setelah itulah muncul orang-orang yang ta’asub (fanatik) pada golongan tertentu, dan yang pertama kali mempeloporinya adalah Syiah, mereka membuat hadits palsu tentang keutamaan Ali radhiyallohu anhu, kemudian kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu berbuat demikian pula, memalsukan hadits mengenai Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah radhiyallohu anhum jami’an.
Ada 2 metode yang dipakai Syiah dalam memalsukan hadits.
a.      Memalsukan hadits yang mendukung pendapat mereka seperti keutamaan Ali radhiyallohu anhu, wasiat imamah (pengganti Rasulullah SAW dan mut’ah).
Contoh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhin meriwayatkan dengan sanadnya Kholid bin Ubaid Al Ataki dari Anas radhiyallohu anhu dari Salman radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ali radhiyallohu anhu
هذا وصيي وموضع سري وخير من أترك بعدي
Inilah wasiatku tempat rahasiaku dan orang yang terbaik yang aku tinggalkan setelahku.
Ibnu Hibban berkata tentang Kholid bin Ubaid dia meriwatkan dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu nuskhoh (kumpulan hadits yang palsu) orang yang tidak mengenal hadits pun tahu kalau dia palsu (Majruhin 1: 279)
b.      Memalsukan hadits tentang keburukan musuhnya.
Contoh Imam Ibnu Adi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubbad bin Ya’kub Al-Hakam bin Sohir dari ‘Asim dari Dzar dari Abdullah radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkata إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه
Apabila kamu melihat Mua’wiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia. Dalam sanad hadits ini ada dua orang rawi pendusta Ubbad bin Ya’kub dan Al-Hakam bin Sohir.
2.      Zindik (munafik)
Kaum zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Alqur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Karena penaklukan dari tentara kaum muslimin maka masuklah beberapa orang yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keIslaman.
3.      Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan
Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
Artinya: “Sesungguhnya bahasa makhluk di sekitar Arasy dengan bahasa Persia”. Untuk mengimbangi hadits maudhu’ di atas munculah dari lawannya yang fanatik bahasa Arab.
Artinya: “Bahasa yang paling dimurkai Allah adalah bahasa Persia dan bahasa penghuni surga adalah bahasa Arab”.
4.      Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat.
Mereka melakukan pemalsuan hadits ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal.
5.      Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
Di antara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah.
a)      Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b)      Jibril menjadi imanku dalam shalat di Ka’bah, ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c)      Yang Zunub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
6.      Membangkitkan Gairah Beribadah, Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukannya.
Banyak di antara para ulama yang membuat hadits palsu dan bahkan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan ‘kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasullah dan bukan sebaliknya”.
7.      Menjilat Penguasa
Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang “perlombaan”. Hal tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari khalifah Al-Mahdy.
Dalam sejarah sekte pertama yang menciptakan hadits maudhu’ adalah syi’ah. Hal ini diakui oleh orang Syi’ah sendiri, misalnya seperti kata Ibnu Abu Al Hadids dalkam Syarah Nahju Al Balagh, bahwa asal usul kebohongan dalam hadits-hadits tentang keutamaan adalah sekte Syi’ah, mereka membuat beberapa hadits maudhu’ untuk memusuhi lawan-lawan politiknya. Setelah hal itu diketahui oleh kelompok Bakariyah, mereka pun membalasnya dengan membuat hadits maudhu’ pula ( Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., 2002: 201).
Untuk menarik simpati golongannya, kaum Syi’ah menciptakan hadits tentang kelebihan Ali, karena dalam doktrin Syi’ah, Ali ra. adalah orang yang paling pantas menggantikan Rasuluyllah saw. sebagai pemimpin, baik agama maupun pemerintah, yakni
Artinya: “ Barang siapa ingin melihat ilmu Nabi Adam, ketakwaan Nabi Nuh, ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaan Nabi Musa dan ibadah Nabi Isa, maka lihatlah Ali” (Prof. Dr. Muh. Zuhri, tt: 68).
Golongan jumhur yang tidak menginsafi akibat dari pemalsuan hadits, mengimbangi tindakan-tindakan kaum Syi’ah, membuat hadits palsu pula, seperti sebuah hadits yang artinya: “Tak ada sebatang pohon pun di dalam surga, yang tidak bertulis pada daunnya: La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddieqy, Umar Al Faruq, dan ‘Usaman Dzun Nurain” ( T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, 1974: 247 ).
8.      Dendam Musuh Islam
Setelah Islam merontokkan dua Negara super power yakni kerajaan Romawi dan Persia, Islam tersebar ke segala penjuru dunia, sementara musuh-musuh Islam tersebut tidak mampu melawannya secara terang-terangan, maka mereka meracuni Islam melalui ajarannya dengan memasukkan beberapa hadits maudhu’ ke dalamnya yang dilakukan oleh Kaum Zindiq. Hal ini dilakukan agar umat Islam lari dari padanya dan agar mereka melihat, bahwa ajaran-ajaran Islam itu menjijikkan, misalnya hadits palsu yang artinya, ”Bahwa segolongan orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW bertanya: Siapakah yang memikul Arsy? Nabi menjawab: yang memikulnya adalah singa-singa dengan tanduknya sedangkan bima sakti di langit keringat mereka. Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau utusan Allah”. (H. Abdul Majid Khon, M. Ag., 2002: 203).
9.      Qashshash (Tukang Cerita)
Sebagian Qashshash (ahli cerita atau ahli dongeng) ingin menarik perhatian para pendengarnya yaitu orang-orang awam agar banyak pendengar, penggemar, dan pengundangnya dengan memanfaatkan profesinya itu untuk mencari uang, dengan cara memasukkan hadits maudhu’ ke dalam propagandanya. Qashshash ini popular pada abad ke-3 H. yang duduk di masjid-masjid dan di pinggir-pinggir jalan, di antara mereka terdiri dari kaum Zindiq dan orang-orang yang berpura-pura menjadi orang alim. Tetapi pada tahun 279 H. masa pembai’atan Khalifah Abbasiyah Al Mu’tasim mereka itu dilarang berkeliaran di masjid-masjid dan di jalan-jalan tersebut.
C.    KRITERIA KEPALSUAN  HADITS MAUDHU’
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hadits itu terdiri atas mata rantai periwayat (sanad) dan matan, maka kepalsuan sebuah hadits dapat diketahui dari mata rantai dimaksud yang akan dibahas berturut-turut berikut ini.
1)      Kepalsuan pada sanad
Bila di sebuah hadits terdapat periwayat yang dikenal sebagai seorang pembohong tanpa ada orang tsiqah mau mengambil hadits darinya. Sifatnya sebagai pembohong itu dapat diketahui dari biodatanya.
Pemalsu hadits mengaku sendiri seperti, pengakuan Abdul Karim ibn al Auja’ yang di dalam berbagai kitab Ulum al Hadits diterangkan bahwa dirinya telah membuat hadits palsu tidak kurang dari 4.000 hadits.
Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah pembohong. Misalnya, periwayat mengaku menerima hadits dari seorang guru. Padahal, sebenarnya ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau, guru yang disebut itu telah meninggal sebelum ia lahir. Indikasi lain adalah, seorang periwayat mengaku memperoleh hadits dari ulama di sebuah negeri, padahal ia tidak pernah pergi ke negeri yang dimaksud. Misalnya, Ma’mun ibn Ahmad al Halawi mengaku pernah memperoleh hadits dari Hisyam ibn Ammar. Kemudian ditanya oleh Ibnu Hibban, ”Kapan engkau bertemu dia di Siria?” Ia menjawab, Tahun dua ratus lima puluh.” Kemudian Ibnu Hibban mengatakan, Hisyam yang kau sebut itu meninggal pada tahun dua ratus empat puluh lima.” (DR. Muh. Zuhri, tt: 75).
2)      Kepalsuan Matan Hadits
Kelemahan lafadz yang terdapat dalam matan. Artinya, orang yang mengetahui betul makna ungkapan bahasa Arab ketika menjumpai kata tertentu maka akan mengatakan bahwa kalimat semacam itu adalah mustahil keluar dari orang fasih, terlebih-lebih Nabi SAW sehingga ia berkesimpulan bahwa susunan kalimat yang disandarkan kepada Nabi itu menunjukkan kepalsuan sebuah berita.
Kelemahan kandungan hadits. Artinya, kandungan hadits bertentangan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan takwil. Misalnya, sebuah hadits ”Sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan thawaf di ka’bah tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”.
Hadits lain berbunyi, ”Orang yang memelihara ayam jago warna putih tidak akan didekati setan dan tidak pula dapat disihir.” Bertentangan dengan nas Al Qur’an atau hadits mutawatir. Hadits yang menyatakan ”Anak hasil zina tidak akan masuk surga hingga tujuh turunan” bertentangan dengan ayat ”Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain”.
Hadits yang menggambarkan bahwa para sahabat sepakat menyembunyikan ajaran Nabi. Misalnya ada hadits, bahwa nabi pernah memegang tangan Ali bin Abi Thalib ra. dihadapan para sahabat kemudian berkata ”Ini, Ali adalah penerima wasiatku dan saudaraku, serta khalifah sesudahku”.
Hadits yang isinya bertentangan dengan bukti-bukti sejarah. Misalnya, ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi mewajibkan membayar jizyah atas penduduk Khaibar dan membebaskan mereka dari usaha dengan persaksian Sa’ad ibn Mu’adz. Kepalsuan hadits ini dapat diketahui dari beberapa segi. Pertama, Sa’ad ibn Mu’adz telah wafat sebelum peristiwa Khaibar, yaitu pada perang handaq kedua, sejarah mencatat bahwa jizyah itu disebutkan sesudah perang tabu, sebuah kurun waktu setelah peristiwa Khaibar.
Hadits yang isinya sesuai dengan pendapat madzhab periwayatnya, sedangkan periwayat tersebut dikenal sangat fanatik terhadap madzhabnya itu. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh kaum syi’ah tentang keunggulan kelurga Nabi (ahlul bait), dan lain-lain. Hadits yang mengandung informasi tentang pahala yang amat berlebihan atas perbuatannya yang kecil atau siksa yang amat berlebihan pula atas dosa yang kecil. Hadits semacam ini banyak terdapat di hadits tentang kisah-kisah. Misalnya sebuah hadits yang artinya, ”Barang siapa membaca La ilaha illallah, maka Allah akan menciptakan untuk setiap kata seekor burung yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah, setiap lidah mengucapkan tujuh puluh ribu bahasa untuk memintakan ampun bagi orang itu.” (H.Abdul Majid Khon, M. Ag., 2002: 212).
D.    Pengaruh dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu
Pengaruh dan dampak dari hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya:
1.       Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat
2.      Munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah
3.      Matinya sunnah.
E.     UPAYA MENANGGULANGI HADITS MAUDHU’
Usaha-usaha para ulama dalam membendung muncul dan menjamurnya penyebaran hadits palsu dalam rangka menyelamatkan Hadits dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.      Pembukuan Hadits
Sebagai disebutkan dalam sejarah pembukuan hadits bahwa pembukuan ini, yang secara resmi diprakarsai oleh Umar ibn Abdul Aziz, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran hilangnya hadits Nabi bersama dengan gugurnya para ulama penghafal hadits. Maka, sekiranya upaya ini tidak diambil, akan sulit dilacak, apakah sebuah informasi itu hadits.
2.       Pembentukan Ilmu-ilmu Hadits
Bidang kualitas periwayat. Dari sini akan diketahui apakah seorang periwayat tercela, sehingga haditsnya harus ditolak atau terpuji, sehingga haditsnya layak disebarkan.
Bidang persambungan sanad. Di sini ditelusuri apakah apakah mata rantai sebuah hadits itu telah benar.
Bidang jalur periwayatan. Artinya, para ulama hadits berkepentingan mengetahui matan sebuah hadits diriwayatkan melalui berapa jalur. Dari sini dapat diketahui apakah sebuah hadits itu dinilai mutawatir, atau ahad, atau bahkan gharib. Bidang sandaran hadits. Di bidang ini diadakan penelusuran, kepada siapa sebuah hadits disandarkan.
3.      Menghimpun Biografi Para Periwayat Hadits
Untuk mengetahui kualitas periwayat, baik yang pantas disiarkan haditsnya maupun yang cacat, perlu ilmu untuk menelusuri riwayat hidup mereka. Ilmu ini juga akan membantu memberi informasi apakah sebuah mata rantai hadits saling bertemu. Dari sini muncul Ilmu Rijal al hadits, sekaligus muncul kitab-kitab biografinya.
4.      Perumusan Istilah-istilah Hadits (Musthalah al Hadits)
Pada intinya, Musthalah Hadits merupakan ilmu untuk memberi istilah hasil jerih payah payah melaksanakan penelusuran hadits sebagai yang tercantum di dalam Ilmu-ilmu Hadits. Setelah penelusuran itu selesai maka hadits itu diberi nama, mutawatir, ahad, masyhur. Dari sisi lain, hadits diberi nama shahih, hasan, dhaif. Dhaif disebabkan oleh hal yang amat banyak, adakalanya persambungan sanad, kualitas periwayat, ”penyandaran”, dan materi hadits itu sendiri. (Dr. Muh. Zuhri, M. Ag., tt: 81).

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak sengaja.
Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi hadits maudhu, yaitu: (1) Polemik politik, (2) kaum zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. (3) Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan. Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
B.     SARAN
Ada berbagai saran yang disampaikan oleh penulis, yaitu.
1.      Para pembaca disarankan agar memberikan kritik atas isi dan penulisan makalah.
2.      Bagi para pembaca disarankan untuk memiliki kriteria yang telah dipapar dalam makalah.
3.      Jika memiliki hambatan dalam membaca maka seyogyanya membaca makalah ini, karena didalam makalah ini dipaparkan mengenai solusi untuk mengatasi hal tersebut.
 
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir,H. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadits Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Assiba’i, Musthofa. 1982. Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum. Bandung: Diponegoro.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2005. Sejarah dan Pengantar Studi Hadits. Semarang: Pustaka Rizqi Putra.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indon
http//ikthisar mustholahul hadits.com
http://rumaysho.com/faedah-ilmu/15-faedah-ilmu/2732-bolehkah-menggunakan-hadits-maudhu-dan-hadits-dhoif-.html
http://tsaqibpermata.blogspot.com/2011/10/hadits-maudlu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar