BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang masalah
Makalah ini dibuat semata untuk membahas tentang
hadits maudhu’. Hadits maudhu’ salah satu dari pembagian hadits. Semua hadits
seperti hadits hasan, hadits dhoif, semuanya bersandarkan kepada Rasulullah
SAW. Berbeda dengan hadits dhoif yang semua isinya dari seorang pendusta dan
mengatasnamakan Rasulullah SAW.
B.
Rumusan Masalah
Agar pembahasan tepat dan benar
sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi masalah yaitu
sebagai berikut.
1. Apakah pengertian hadits maudhu’?
2.
Bagaimanakah awal muncul dan faktor yang
melatarbelakanginya?
3. Apa
kriteria kepalsuan dari hadits maudhu’?
4. Seperti apakah pengaruh dan dampak buruk tersebarnya
hadits maudhu’?
5. Bagaimana upaya menanggulangi hadits maudhu’
C. Tujuan
Dibuatnya
makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu.
1. Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu’.
2.
Untuk
mengetahui awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya.
3. Untuk mengetahui kriteria kepalsuan dari
Hadits Maudhu’.
4. Untuk mengetahui pengaruh dan dampak buruk
tersebarnya hadits maudhu’.
5. Untuk mengetahui upaya menanggulangi hadits maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
HADITS
MAUDHU’
Hadits
baru dibukukan dan ditulis pada masa Kekholifahan Umar ibn ‘Abd Al Aziz abad ke
2 H melalui perintahnya kepada Gubernur Abu Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm
dan bahkan kepada tabi’in wanita ‘Amrah binti ‘Abd Al Rahman. Kesenjangan waktu
antara sepeninggalan Rasulullah SAW dengan waktu pembukukan hadits hampir 1 abad
merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk
memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada
Rasulluh SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada
Rasulullah seperti inilah yang selanjutnya di kenal dengan hadis palsu atau
hadits maudhu’.
A. PENGERTIAN
HADITS MAUDHU’
Pengertian hadits maudhu dibedakan
menjadi dua, yaitu
1.
Pengertian
secara etimologi
Secara etimologi (bahasa), kata
al-maudlu asal kata dari وضع – يضع – وضعا memiliki beberapa konotasi makna yang
berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi
makna itu di antaranya sebagai berikut:
a. bermakna
al-hiththah, yang mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat,
b. bermakna
al-isqah, yang mempunyai konotasi arti menggugurkan,
c. bermakna
al-ikhtilaq, yang mempunyai arti membuat-buat, dan
d. bermakna
al-islaq, yang mempunyai arti meletakkan.
2. Pengertian secara terminologi
Pengertian hadits maudhu secara
terminologi (istilah) diberikan oleh para muhaddisin dengan redaksi yang
berbeda-beda, tetapi pada intinya mempunyai kesamaan dalam prinsip makna yang
mendasarkan beberapa rumusan pengertian hadits maudhu adalah sebagai berikut.
Menurut Muhammad
As-Sakhsh, hadits maudhu adalah hadits yang
diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifa dusta terhadap Rasulullah SAW, dibuat
secara sengaja atau tidak sengaja.
Sedangkan menurut Moh. Najib,
hadits maudhu merupakan hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan tujuan untuk memperdayai.
Menurut Mahmud Abu
Rayyah bahwa, hadits yang diciptakan dan dibuat-buat yang
dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, secara palsu dan dusta, baik secara sengaja
atau pun tidak sengaja.
Sebagian ulama
mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh
seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu di katakan sebagai kata-kata atau
perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”.
Beberapa unsur penting dalam
definisi al-maudhu di atas, yaitu:
a. unsur
al-wadh’u (pembuatan atau dibuat-buat), artinya hadits yang disampaikan rawi
adalah hadits “buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi
Muhammad SAW,
b. unsur
al-kadzibu (dusta atau menipu), artinya apa yang disampaikan rawi sebagai
hadits Nabi adalah “dusta” atau “tipuan” belaka yang berasal dari dirinya
sendiri, bukan dari Nabi,
c. unsur
al-amdu (sengaja) dan al-khata’u (tidak sengaja), artinya pembuatan hadits
dusta yang disebut berasal dari Nabi itu dilakukan secara sengaja atau tidak
sengaja.
Dari uraian di atas,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian hadits maudhu
adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk
perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara
sengaja atau pun tidak sengaja.
B. AWAL
MUNCUL DAN FAKTOR yang MELATAR BELAKANGINYA
1. AWAL MUNCUL HADITS MAUDHU’
Para
ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits.
Di antara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:
a.
Menurut Ahmad Amin
Menurut
Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan
dengan sebuah hadits yang matannya
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده
من النّار .
Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada
zaman Rasulullah SAW telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini
kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan
alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara historis, selain itu pemalsuan
hadits di zaman Rasulullah SAW tidak tercantum di dalam kitab-kitab standar
yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Data juga menunjukan sepanjang masa
Rasulullah SAW tidak pernah ada seorang sahabat pun yang sengaja berbuat dusta
kepadanya.
b.
Menurut jumhur muhadditsin
Menurut
jumhur muhadditsin bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak zaman khalifah
Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari
pemalsuan.
2. FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
Faktor-faktor
yang melatarbelakangi pembuatan hadits maudhu’, yaitu.
1. Polemik politik
Dari sebab pembunuhan Utsman radhiyallohu anhu kemudian
fitnah Ali radhiyallohu anhu dan Mu’awiyah radhiyallohu anhu terpecahlah kaum
muslimin menjadi tiga, kubu Ali radhiyallohu anhu, Kubu Mu’awiyah radhiyallohu
anhu, dan yang keluar yang memberontak pada Ali radhiyallohu anhu.
Pada zaman mereka tidak terjadi pemalsuan hadits, setelah
itulah muncul orang-orang yang ta’asub (fanatik) pada golongan tertentu, dan
yang pertama kali mempeloporinya adalah Syiah, mereka membuat hadits palsu
tentang keutamaan Ali radhiyallohu anhu, kemudian kubu Mu’awiyah radhiyallohu
anhu berbuat demikian pula, memalsukan hadits mengenai Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Mu’awiyah radhiyallohu anhum jami’an.
Ada 2 metode yang dipakai Syiah dalam memalsukan hadits.
a.
Memalsukan
hadits yang mendukung pendapat mereka seperti keutamaan Ali radhiyallohu anhu,
wasiat imamah (pengganti Rasulullah SAW dan mut’ah).
Contoh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhin meriwayatkan dengan sanadnya
Kholid bin Ubaid Al Ataki dari Anas radhiyallohu anhu dari Salman radhiyallohu
anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata
kepada Ali radhiyallohu anhu
هذا وصيي وموضع سري وخير من أترك بعدي
Inilah
wasiatku tempat rahasiaku dan orang yang terbaik yang aku tinggalkan setelahku.
Ibnu Hibban berkata tentang Kholid bin Ubaid dia meriwatkan
dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu nuskhoh (kumpulan hadits yang palsu)
orang yang tidak mengenal hadits pun tahu kalau dia palsu (Majruhin 1: 279)
b. Memalsukan hadits tentang keburukan
musuhnya.
Contoh Imam Ibnu Adi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubbad bin Ya’kub Al-Hakam
bin Sohir dari ‘Asim dari Dzar dari Abdullah radhiyallohu anhu dari
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkata إذا
رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه
Apabila kamu melihat Mua’wiyah di atas mimbarku maka
bunuhlah ia.
Dalam sanad hadits ini ada dua orang
rawi pendusta Ubbad bin Ya’kub dan Al-Hakam bin Sohir.
2. Zindik (munafik)
Kaum
zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai
dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian
melalui konfrontasi dan pemalsuan Alqur’an, sehingga menggunakan cara yang
paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan
menghancurkan agama islam dari dalam. Karena penaklukan dari tentara kaum
muslimin maka masuklah beberapa orang yang menyembunyikan kekufuran dan
menampakkan keIslaman.
3. Fanatik terhadap Bangsa, Suku,
Negeri, Bahasa, dan Pimpinan
Mereka
membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta
ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
Artinya: “Sesungguhnya bahasa
makhluk di sekitar Arasy dengan bahasa Persia”. Untuk mengimbangi hadits maudhu’ di
atas munculah dari lawannya yang fanatik bahasa Arab.
Artinya: “Bahasa yang paling
dimurkai Allah adalah bahasa Persia dan bahasa penghuni surga adalah bahasa
Arab”.
4. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah
dan Nasihat.
Mereka
melakukan pemalsuan hadits ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan
agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakan terlalu
berlebih-lebihan dan tidak masuk akal.
5. Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya
hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut
madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik
dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
Di
antara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah.
a) Siapa yang mengangkat kedua
tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b) Jibril menjadi imanku dalam shalat
di Ka’bah, ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c) Yang Zunub wajib berkumur dan
menghisap air tiga kali.
6. Membangkitkan Gairah Beribadah,
Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukannya.
Banyak
di antara para ulama yang membuat hadits palsu dan bahkan mengira usahanya itu
benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi
agama-Nya. Mereka mengatakan ‘kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi
nama Rasullah dan bukan sebaliknya”.
7. Menjilat Penguasa
Ghiyas
bin Ibrahim merupakan tokoh yang ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu
hadits tentang “perlombaan”. Hal tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah
atau simpatik dari khalifah Al-Mahdy.
Dalam sejarah sekte pertama yang
menciptakan hadits maudhu’ adalah syi’ah. Hal ini diakui oleh orang Syi’ah
sendiri, misalnya seperti kata Ibnu Abu Al Hadids dalkam Syarah Nahju Al Balagh,
bahwa asal usul kebohongan dalam hadits-hadits tentang keutamaan adalah sekte
Syi’ah, mereka membuat beberapa hadits maudhu’ untuk memusuhi lawan-lawan
politiknya. Setelah hal itu diketahui oleh kelompok Bakariyah, mereka pun
membalasnya dengan membuat hadits maudhu’ pula ( Dr. H. Abdul Majid Khon,
M.Ag., 2002: 201).
Untuk menarik simpati golongannya,
kaum Syi’ah menciptakan hadits tentang kelebihan Ali, karena dalam doktrin
Syi’ah, Ali ra. adalah orang yang paling pantas menggantikan Rasuluyllah saw.
sebagai pemimpin, baik agama maupun pemerintah, yakni
Artinya: “ Barang siapa ingin melihat ilmu Nabi Adam, ketakwaan Nabi Nuh,
ketabahan Nabi Ibrahim, keperkasaan Nabi Musa dan ibadah Nabi Isa, maka
lihatlah Ali” (Prof. Dr. Muh. Zuhri, tt: 68).
Golongan jumhur yang tidak
menginsafi akibat dari pemalsuan hadits, mengimbangi tindakan-tindakan kaum
Syi’ah, membuat hadits palsu pula, seperti sebuah hadits yang artinya: “Tak ada
sebatang pohon pun di dalam surga, yang tidak bertulis pada daunnya: La ilaha
illallah Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddieqy, Umar Al Faruq, dan
‘Usaman Dzun Nurain” ( T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, 1974: 247 ).
8. Dendam
Musuh Islam
Setelah Islam merontokkan dua
Negara super power yakni kerajaan Romawi dan Persia, Islam tersebar ke segala
penjuru dunia, sementara musuh-musuh Islam tersebut tidak mampu melawannya
secara terang-terangan, maka mereka meracuni Islam melalui ajarannya dengan
memasukkan beberapa hadits maudhu’ ke dalamnya yang dilakukan oleh Kaum Zindiq.
Hal ini dilakukan agar umat Islam lari dari padanya dan agar mereka melihat,
bahwa ajaran-ajaran Islam itu menjijikkan, misalnya hadits palsu yang artinya,
”Bahwa segolongan orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW bertanya: Siapakah
yang memikul Arsy? Nabi menjawab: yang memikulnya adalah singa-singa dengan
tanduknya sedangkan bima sakti di langit keringat mereka. Mereka menjawab: Kami
bersaksi bahwa engkau utusan Allah”. (H. Abdul Majid Khon, M. Ag., 2002: 203).
9. Qashshash
(Tukang Cerita)
Sebagian Qashshash (ahli cerita
atau ahli dongeng) ingin menarik perhatian para pendengarnya yaitu orang-orang
awam agar banyak pendengar, penggemar, dan pengundangnya dengan memanfaatkan profesinya
itu untuk mencari uang, dengan cara memasukkan hadits maudhu’ ke dalam
propagandanya. Qashshash ini popular pada abad ke-3 H. yang duduk di masjid-masjid
dan di pinggir-pinggir jalan, di antara mereka terdiri dari kaum Zindiq dan
orang-orang yang berpura-pura menjadi orang alim. Tetapi pada tahun 279 H. masa
pembai’atan Khalifah Abbasiyah Al Mu’tasim mereka itu dilarang berkeliaran di
masjid-masjid dan di jalan-jalan tersebut.
C.
KRITERIA
KEPALSUAN HADITS MAUDHU’
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa hadits itu terdiri atas mata rantai periwayat (sanad)
dan matan, maka kepalsuan sebuah hadits dapat diketahui dari mata rantai
dimaksud yang akan dibahas berturut-turut berikut ini.
1) Kepalsuan pada sanad
Bila di sebuah hadits terdapat
periwayat yang dikenal sebagai seorang pembohong tanpa ada orang tsiqah mau
mengambil hadits darinya. Sifatnya sebagai pembohong itu dapat diketahui dari
biodatanya.
Pemalsu hadits mengaku sendiri
seperti, pengakuan Abdul Karim ibn al Auja’ yang di dalam berbagai kitab Ulum
al Hadits diterangkan bahwa dirinya telah membuat hadits palsu tidak kurang
dari 4.000 hadits.
Terdapat indikasi yang menunjukkan
bahwa seorang periwayat adalah pembohong. Misalnya, periwayat mengaku menerima
hadits dari seorang guru. Padahal, sebenarnya ia tidak pernah bertemu dengan
guru tersebut, atau, guru yang disebut itu telah meninggal sebelum ia lahir.
Indikasi lain adalah, seorang periwayat mengaku memperoleh hadits dari ulama di
sebuah negeri, padahal ia tidak pernah pergi ke negeri yang dimaksud. Misalnya,
Ma’mun ibn Ahmad al Halawi mengaku pernah memperoleh hadits dari Hisyam ibn
Ammar. Kemudian ditanya oleh Ibnu Hibban, ”Kapan engkau bertemu dia di Siria?”
Ia menjawab, Tahun dua ratus lima puluh.” Kemudian Ibnu Hibban mengatakan,
Hisyam yang kau sebut itu meninggal pada tahun dua ratus empat puluh lima.”
(DR. Muh. Zuhri, tt: 75).
2) Kepalsuan Matan Hadits
Kelemahan lafadz yang terdapat
dalam matan. Artinya, orang yang mengetahui betul makna ungkapan bahasa Arab
ketika menjumpai kata tertentu maka akan mengatakan bahwa kalimat semacam itu
adalah mustahil keluar dari orang fasih, terlebih-lebih Nabi SAW sehingga ia
berkesimpulan bahwa susunan kalimat yang disandarkan kepada Nabi itu
menunjukkan kepalsuan sebuah berita.
Kelemahan kandungan hadits.
Artinya, kandungan hadits bertentangan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan
takwil. Misalnya, sebuah hadits ”Sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan
thawaf di ka’bah tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”.
Hadits lain berbunyi, ”Orang yang
memelihara ayam jago warna putih tidak akan didekati setan dan tidak pula dapat
disihir.” Bertentangan dengan nas Al Qur’an atau hadits mutawatir. Hadits yang
menyatakan ”Anak hasil zina tidak akan masuk surga hingga tujuh turunan”
bertentangan dengan ayat ”Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain”.
Hadits yang menggambarkan bahwa
para sahabat sepakat menyembunyikan ajaran Nabi. Misalnya ada hadits, bahwa
nabi pernah memegang tangan Ali bin Abi Thalib ra. dihadapan para sahabat kemudian
berkata ”Ini, Ali adalah penerima wasiatku dan saudaraku, serta khalifah
sesudahku”.
Hadits yang isinya bertentangan
dengan bukti-bukti sejarah. Misalnya, ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa
Nabi mewajibkan membayar jizyah atas penduduk Khaibar dan membebaskan mereka
dari usaha dengan persaksian Sa’ad ibn Mu’adz. Kepalsuan hadits ini dapat
diketahui dari beberapa segi. Pertama, Sa’ad ibn Mu’adz telah wafat sebelum
peristiwa Khaibar, yaitu pada perang handaq kedua, sejarah mencatat bahwa
jizyah itu disebutkan sesudah perang tabu, sebuah kurun waktu setelah peristiwa
Khaibar.
Hadits yang isinya sesuai dengan
pendapat madzhab periwayatnya, sedangkan periwayat tersebut dikenal sangat
fanatik terhadap madzhabnya itu. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh kaum
syi’ah tentang keunggulan kelurga Nabi (ahlul bait), dan lain-lain. Hadits yang
mengandung informasi tentang pahala yang amat berlebihan atas perbuatannya yang
kecil atau siksa yang amat berlebihan pula atas dosa yang kecil. Hadits semacam
ini banyak terdapat di hadits tentang kisah-kisah. Misalnya sebuah hadits yang
artinya, ”Barang siapa membaca La ilaha illallah, maka Allah akan menciptakan
untuk setiap kata seekor burung yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah, setiap
lidah mengucapkan tujuh puluh ribu bahasa untuk memintakan ampun bagi orang
itu.” (H.Abdul Majid Khon, M. Ag., 2002: 212).
D. Pengaruh dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu
Pengaruh dan dampak dari hadits-hadits palsu yang banyak
beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada
masyarakat Islam diantaranya:
1.
Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat
2.
Munculnya
ibadah-ibadah yang bid’ah
3.
Matinya
sunnah.
E.
UPAYA
MENANGGULANGI HADITS MAUDHU’
Usaha-usaha para
ulama dalam membendung muncul dan menjamurnya penyebaran hadits palsu dalam
rangka menyelamatkan Hadits dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Pembukuan Hadits
Sebagai disebutkan dalam sejarah
pembukuan hadits bahwa pembukuan ini, yang secara resmi diprakarsai oleh Umar
ibn Abdul Aziz, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran hilangnya hadits Nabi
bersama dengan gugurnya para ulama penghafal hadits. Maka, sekiranya upaya ini
tidak diambil, akan sulit dilacak, apakah sebuah informasi itu hadits.
2.
Pembentukan Ilmu-ilmu Hadits
Bidang kualitas periwayat. Dari
sini akan diketahui apakah seorang periwayat tercela, sehingga haditsnya harus
ditolak atau terpuji, sehingga haditsnya layak disebarkan.
Bidang persambungan sanad. Di sini
ditelusuri apakah apakah mata rantai sebuah hadits itu telah benar.
Bidang jalur periwayatan. Artinya,
para ulama hadits berkepentingan mengetahui matan sebuah hadits diriwayatkan
melalui berapa jalur. Dari sini dapat diketahui apakah sebuah hadits itu dinilai
mutawatir, atau ahad, atau bahkan gharib. Bidang sandaran hadits. Di bidang ini
diadakan penelusuran, kepada siapa sebuah hadits disandarkan.
3.
Menghimpun Biografi Para Periwayat
Hadits
Untuk mengetahui kualitas
periwayat, baik yang pantas disiarkan haditsnya maupun yang cacat, perlu ilmu
untuk menelusuri riwayat hidup mereka. Ilmu ini juga akan membantu memberi
informasi apakah sebuah mata rantai hadits saling bertemu. Dari sini muncul
Ilmu Rijal al hadits, sekaligus muncul kitab-kitab biografinya.
4.
Perumusan Istilah-istilah Hadits
(Musthalah al Hadits)
Pada intinya, Musthalah Hadits
merupakan ilmu untuk memberi istilah hasil jerih payah payah melaksanakan
penelusuran hadits sebagai yang tercantum di dalam Ilmu-ilmu Hadits. Setelah
penelusuran itu selesai maka hadits itu diberi nama, mutawatir, ahad, masyhur.
Dari sisi lain, hadits diberi nama shahih, hasan, dhaif. Dhaif disebabkan oleh
hal yang amat banyak, adakalanya persambungan sanad, kualitas periwayat,
”penyandaran”, dan materi hadits itu sendiri. (Dr. Muh. Zuhri, M. Ag., tt: 81).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadits maudhu’ adalah segala sesuatu
yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan
atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak
sengaja.
Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang
dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan
sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja
maupun tidak”.
Faktor-faktor yang
melatarbelakangi hadits maudhu, yaitu: (1) Polemik politik, (2) kaum zindiq adalah golongan yang
membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. (3)
Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan. Mereka membuat
hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
B. SARAN
Ada berbagai saran yang disampaikan oleh penulis,
yaitu.
1.
Para pembaca disarankan agar memberikan
kritik atas isi dan penulisan makalah.
2.
Bagi para pembaca disarankan untuk
memiliki kriteria yang telah dipapar dalam makalah.
3.
Jika memiliki hambatan dalam membaca
maka seyogyanya membaca makalah ini, karena didalam makalah ini dipaparkan
mengenai solusi untuk mengatasi hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir,H.
1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta,
Munzier. 2011. Ilmu Hadits Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Assiba’i,
Musthofa. 1982. Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum.
Bandung: Diponegoro.
Ash
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2005. Sejarah
dan Pengantar Studi Hadits. Semarang: Pustaka Rizqi Putra.
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor:
Ghalia Indon
http//ikthisar
mustholahul hadits.com
http://rumaysho.com/faedah-ilmu/15-faedah-ilmu/2732-bolehkah-menggunakan-hadits-maudhu-dan-hadits-dhoif-.html
http://tsaqibpermata.blogspot.com/2011/10/hadits-maudlu.html